MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SYIRIK DAN BAHAYANYA
BAGI MANUSIA
Disusun Oleh :
1.
Dini Nur Amania (1604020035)
2.
Nurul Azmi Pamungkas (1604020036)
3.
Belmiro Satria Nugrahandy (1604020037)
4.
Liza Pratikna (1604020038)
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2017
SYIRIK DAN BAHAYANYA
BAGI MANUSIA
BAB 1
PENDAHULUAN
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa
dilimpahkan kepada Muhammad Saw, kepada keluarga dan para sahabatnya serta
mereka yang mengikuti jejak langkahnya dengan kebaikan hingga hari kebangkitan.
Dalam
surat adz- Dzariyat ayat 56 Allah SWT berfirman, “dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada – Ku”. Firman in sangat jelas bahwa penciptaan manusia dan
jin hanyalah untuk beribadah kepada – Nya. Segala sesuatu tentang peribadahan
hanyalah kepada Allah kita menyembah bukan kepada selain – Nya. Sehinnga tujuan
hidup kita adalah utuk beribadah kepada Allah SWT untun menggapai ridha – Nya.
Syirik
yang merupakan salah satu bentuk penghambaan kepada selain Allah adalah dosa
besar yang tidak terampuni. Kesyrikan manusia sudah ada dari masa dakwah para
nabi hingga sekarang. Kesesatan manusia ini bukan tanpa alasan, karena tingkat
keimanan yang dimiliki oleh setiap manusia berbeda – beda. Dan hal ini syetan
juga sangat senang dan antusias untuk selalu menggoda manusia ikut dalam
kesesatan syetan. Bahwasanya syetan sudah berjanji setelah penciptaanya bahwa
syetan akan terus menggoda anak cucu Adam untuk ikut sesat dan masuk neraka
bersama syetan tersebut, na’udzubillah
min dzalik.
Permasalahan
kesyirikan ini bukan suatu masalah yang kecil, ini merupakan permasalahan ummat
yang sangat serius di akhir zaman
seperti ini. Karena hilangnya ghirah umat muslim ini lah salah yang menjadi
sebabnya. Maka dakwah untuk memerangi kesyirikan senantiasa harus di syiarkan
agar ummat di dunia ini atau disekitar kita tidak terjerumus kedalam
kesyirikan. Sehinnga berdasarkan permasalahan ini kami menulis sebuah makalah
yang berjudul ‘Syirik dan bahanya bagi manusia’ yang akan dibahas dibawah ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian syirik kepada Allah?
2. Apa saja jenis – jenis dari syirik kepada Allah?
3. Apa bentuk – bentuk syirik kepada Allah?
4. Apa yang menyebabkan terjadinya syirik pada manusia?
5. Bagaimana tindakan Rosulullah menangkal syirik?
C.
TUJUAN
1. mengetahui
sirik kepada Alloh SWT
2. Mengetahui jenis-jenis syirik kepada Aloh SWT
3. Mengetahui bentuk-bentuk syirik kepada Alloh SWT
4. mengetahui penyebab terjadinya syirik
5. mengetahui tindakan Rosululloh menangkal syirik pada
masanya
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Definis Syirik Kepada Allah Swt
Secara etimologi, syirik berarti persekutuan yang terdiri
dari dua atau lebih yang disebut sekutu. Sedangkan secara terminologi, syirik
berarti menjadikan bagi Allah tandingan atau sekutu. Definisi ini bermuara dari
hadis Nabi tentang dosa terbesar,
أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهْوَ خَلَقَكَ
“…Engkau
menjadikan sekutu bagi Allah sedangkan Dia yang menciptakanmu.”
Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah serta Asma dan Sifat-Nya. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Syirik ada dua macam; pertama syirik dalam
Rububiyyah, yaitu menjadikan sekutu selain Allah yang mengatur alam semesta,
sebagaimana firman-Nya:
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ لَا
يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَمَا
لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ
“Katakanlah:
‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah) selain Allah, mereka tidak
memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka
tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan
sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.’”
[Saba’: 22]
Kedua,
syirik dalam Uluhiyyah, yaitu beribadah (berdo’a) kepada selain Allah, baik
dalam bentuk do’a ibadah maupun do’a masalah .”
Umumnya yang dilakukan manusia adalah menyekutukan dalam
Uluhiyyah Allah adalah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah,
seperti berdo’a kepada selain Allah di samping berdo’a kepada Allah, atau
memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar,
berdo’a, dan sebagainya kepada selain-Nya.
Karena itu, barangsiapa menyembah dan berdo’a kepada selain
Allah berarti ia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya
kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“…
Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.”
[Luqman: 13]
Diriwayatkan dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ (ثَلاَثًا)، قَالُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: َاْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ -وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ-: أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ. قَالَ: فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا
لَيْتَهُ سَكَتَ.
“Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang dosa-dosa
besar yang paling besar?” (Beliau mengulanginya tiga kali.) Mereka (para
Sahabat) menjawab: “Tentu saja, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Syirik
kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” -Ketika itu beliau bersandar
lalu beliau duduk tegak seraya bersabda:- “Dan ingatlah, (yang ketiga)
perkataan dusta!” Perawi berkata: “Beliau terus meng-ulanginya hingga kami
berharap beliau diam.”
Syirik (menyekutukan Allah) dikatakan dosa besar yang paling
besar dan kezhaliman yang paling besar, karena ia menyamakan makhluk dan Khaliq
(Pencipta) pada hal-hal yang khusus bagi Allah Ta’ala. Barangsiapa yang
menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia telah menyamakannya dengan Allah dan
ini sebesar-besar kezhaliman. Zhalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada
tempatnya.
Akan tetapi, jika disebutkan secara mutlak, syirik berarti memalingkan suatu ibadah
kepada selain Allah. Dan inilah makna syirik secara khusus. Sebagaimana tauhid
bermakna mengesakan Allah -dalam ibadah- jika disebut secara mutlak. Karena
kesyirikan jenis inilah yang diperangi oleh Rasulullah semasa hidup beliau.
Bahkan, kesyirikan pertama yang terjadi di muka bumi ini disebabkan oleh
penyelewengan dalam beribadah kepada selain Allah yang telah menimpa kaum Nabi
Nuh ‘alaihissalam.
Diriwayatkan bahwa di zaman Nabi Nuh terdapat beberapa orang
saleh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kepada manusia-manusia setelah
mereka untuk mendirikan patung orang-orang saleh tersebut dan menamakannya
dengan nama-nama mereka. Hal itu bertujuan untuk membuat mereka semangat dalam
beribadah tatkala melihat patung tersebut.
Kala itu tiada seorang pun yang menyembah patung itu. Akan
tetapi, ketika generasi pembuat patung wafat dan manusia berada di dalam
kungkungan kebodohan, maka generasi setelahnya menjadikan patung-patung
tersebut sebagai sesembahan. Mereka telah menduakan Allah dan itulah
sebesar-besar dosa.
B.
Jenis-Jenis Syirik
Syirik
ada dua jenis: Syirik Besar dan Syirik Kecil.
1. Syirik Besar
Syirik besar adalah memalingkan suatu bentuk ibadah kepada
selain Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah atau mendekatkan diri
kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik
untuk kuburan, jin atau syaithan, dan lainnya. Atau seseorang takut kepada
orang mati (mayit) yang (dia menurut perkiraannya) akan membahayakan dirinya,
atau mengharapkan sesuatu kepada selain Allah, yang tidak kuasa memberikan manfaat
maupun mudharat, atau seseorang yang meminta sesuatu kepada selain Allah, di
mana tidak ada manusia pun yang mampu memberikannya selain Allah, seperti
memenuhi hajat, menghilangkan kesulitan dan selain itu dari berbagai macam
bentuk ibadah yang tidak boleh dilakukan melainkan ditujukan kepada Allah
saja.[9] Allah Ta’ala berfirman:
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ
فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Do’a
mereka di dalamnya adalah, ‘Subhanakallahumma,’ dan salam penghormatan mereka
adalah: ‘Salaamun.’ Dan penutup do’a mereka adalah: ‘Alhamdulillaahi Rabbil
‘aalamin.’” [Yunus: 10]
Syirik besar dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam
dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dalam keadaan
syirik dan belum bertaubat daripadanya.
Syirik
besar ada banyak, sedangkan di sini akan disebutkan empat macamnya saja:
a. Syirik do’a, yaitu di samping ia
berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia juga berdo’a kepada selain-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka
sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).”
[Al-‘Ankabuut: 65]
Syirik
niat, keinginan dan tujuan, yaitu ia menujukan suatu bentuk ibadah untuk selain
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا
نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ
مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa
yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan.” [Huud: 15-16]
b. Syirik ketaatan, yaitu mentaati
selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ
دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan rabb)
al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada Allah
Yang Maha Esa; tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia.
Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [At-Taubah: 31]
c. Syirik mahabbah (kecintaan), yaitu
menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selain-Nya dalam hal kecintaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا
يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ
وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ
لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada
Allah. Dan seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika
mereka melihat siksa (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah
semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).” [Al-Baqarah:
165]
2. Syirik Kecil
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama
Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (jalan, perantara)
kepada syirik besar.
Syirik kecil ada dua macam:
Syirik zhahir (nyata), yaitu syirik kecil dalam bentuk
ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan selain
Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ.
“Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia
telah berbuat kufur atau syirik.”
Syirik
dan kufur yang dimaksud di sini adalah syirik dan kufur kecil.
Qutailah binti Shaifi al-Juhaniyah Radhiyallahu anhuma
menuturkan bahwa ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dan berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik.
Engkau mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu,’ dan mengucapkan:
‘Demi Ka’bah.’” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para
Sahabat apabila hendak bersumpah agar mengucapkan:
وَرَبِّ الْكَعْبَةِ، وَأَنْ يَقُوْلُوْا: مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Demi Allah, Pemilik Ka’bah,” dan mengucapkan: “Atas
kehendak Allah kemudian atas kehendakmu.’”
Contoh
lain syirik dalam bentuk ucapan yaitu perkataan:
مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ.
“Atas
kehendak Allah dan kehendakmu.”
Ucapan
tersebut salah, dan yang benar adalah:
مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Atas
kehendak Allah, kemudian karena kehendakmu.”
Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَلَفَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَقُلْ: مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ، وَلَكِنْ
لِيَقُلْ: مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Apabila seseorang dari kalian bersumpah, janganlah ia
mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu.’ Akan tetapi hendaklah ia
mengucapkan:
مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Atas kehendak Allah kemudian kehendakmu.”
Kata ثُـمَّ (kemudian)
menunjukkan tertib berurutan, yang berarti menjadikan kehendak hamba mengikuti
kehendak Allah.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ
الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu)
kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [At-Takwir: 29]
Adapun contoh syirik dalam perbuatan, seperti memakai
gelang, benang, dan sejenisnya sebagai pengusir atau penangkal marabahaya.
Seperti menggantungkan jimat (tamimah) karena takut dari ‘ain (mata jahat) atau
lainnya. Jika seseorang meyakini bahwa kalung, benang atau jimat itu sebagai
penyerta untuk menolak marabahaya dan menghilangkannya, maka perbuatan ini
adalah syirik ashghar, karena Allah tidak menjadikan sebab-sebab (hilangnya
marabahaya) dengan hal-hal tersebut. Adapun jika ia berkeyakinan bahwa dengan
memakai gelang, kalung atau yang lainnya dapat menolak atau mengusir
marabahaya, maka per-buatan ini adalah syirik akbar (syirik besar), karena ia
menggantungkan diri kepada selain Allah.
Syirik khafi (tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan
dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang),
dan lainnya. Seperti melakukan suatu amal tertentu untuk mendekatkan diri
kepada Allah, tetapi ia ingin mendapatkan pujian manusia, misalnya dengan
memperindah shalatnya (karena dilihat orang) atau bershadaqah agar dipuji dan
memperindah suaranya dalam membaca (Al-Qur-an) agar didengar orang lain,
sehingga mereka menyanjung atau memujinya.
Suatu amal apabila tercampur dengan riya’, maka amal
tersebut tertolak, karena itu Allah memperintahkan kita untuk berlaku ikhlas.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ
أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia
sepertimu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah
Allah Yang Esa.’’ Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang
pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Maksudnya, katakanlah (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam) kepada orang-orang musyrik yang mendustakan ke-Rasulanmu: “Sesungguhnya
aku ini hanyalah manusia seperti juga dirimu.” Maka barangsiapa yang menganggap
diriku (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) adalah pendusta, hendaklah ia
mendatangkan sebagaimana yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa.
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui yang ghaib,
yaitu tentang perkara-perkara terdahulu yang pernah disampaikan beliau, seperti
tentang Ashhaabul Kahfi, tentang Dzul Qarnain, atau perkara ghaib lainnya,
melainkan (sebatas) yang telah diwahyukan Allah Ta’ala kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabarkan bahwa ilah (sesembahan) yang mereka seru dan mereka ibadahi, tidak
lain adalah Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Lalu Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengabarkan bahwa barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan-Nya
-yaitu mendapat pahala dan kebaikan balasan-Nya- maka hendaklah ia mengerjakan
amal shalih yang sesuai dengan syari’at-Nya, serta tidak menyekutukan sesuatu
apapun dalam beribadah kepada Rabb-nya. Amal perbuatan inilah yang di-maksudkan
untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
Kedua hal tersebut (amal shalih dan tidak menyekutukan
Allah) merupakan rukun amal yang maqbul (diterima). Yaitu harus benar-benar
tulus karena Allah (menjauhi perbuatan syirik) dan harus sesuai dengan syari’at
(Sunnah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ،
فَقَالُوْا: وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، يَا
رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: اَلرِّيَاءُ.
“Sesungguhnya
yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para
Sahabat) bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu riya’.” [18]
Termasuk
juga dalam syirik, yaitu seseorang yang melakukan amal untuk kepentingan
duniawi, seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau berjihad untuk
mendapatkan harta benda.
Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّنَارِ، تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ، تَعِسَ
عَبْدُ الْخَمِيْصَةِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْلَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ
لَمْ يُعْطَ سَخِطَ.
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah
hamba khamishah, celakalah hamba khamilah [19]. Jika diberi ia senang, tetapi
jika tidak diberi ia marah.”[20]
C.
Bentuk Bentuk
Syirik
1. Syirik di dalam ibadah (uluhiyyah)
Syirik di dalam uluhiyyah Allah bermakna menyekutukan Allah
di dalam ibadah. Atau dengan arti lain menyelewengkan ibadah kepada selain
Allah. Ini adalah definisi syirik ketika penyebutannya bersifat mutlak. Karena
kesyirikan ini yang paling menjamur, dan parahnya, tidak banyak orang yang
menyadari akan hal itu. Betapa banyak manusia menduakan Allah di dalam
penghambaan dirinya tanpa mereka sadari.
Termasuk ibadah di antaranya adalah salat, zakat, puasa,
sembelihan, sumpah, doa, istigasah, cinta, takut, harap, dan segala bentuk
peribadahan seorang hamba kepada Allah. Oleh sebab itu, termasuk bentuk
kesyirikan ketika seseorang menyembelih kurban untuk jin semisal sesajen,
berdoa meminta pertolongan kepada orang mati, atau penyelewangan ibadah lainnya
kepada selain Allah.
Allah
Ta’ala berfirman,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ
أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu ialah milik Allah.
Maka janganlah kalian menyembah sesuatu pun di dalamnya selain Allah.” (QS.
Al-Jinn: 18)
2. Syirik di dalam perbuatan Allah
(rububiyyah)
Syirik di dalam rububiyyah Allah berarti meyakini adanya
selain Allah yang melakukan perbuatan-perbuatan Allah. Atau menyamakan makhluk
dengan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan rububiyyah-Nya. Misalnya,
memercayai adanya sang pencipta selain Allah, pemberi rezeki, penurun hujan,
dan pengatur alam semesta.
Syirik jenis ini umumnya sedikit. Karena kaum kafir Quraisy
yang diperangi oleh Rasulullah pun meyakini tauhid jenis ini. Allah Ta’ala
berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ
يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ
وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ
اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah
wahai Muhammad, ‘Siapakah yang memberi kalian rezeki dari langit dan bumi?
Siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan? Siapakah yang mengeluarkan
yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Siapakah
yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakan,
‘Lantas mengapa kalian tidak bertakwa?” (QS. Yunus: 31)
3. Syirik di dalam nama dan sifat-Nya (asma’
wa shifat)
Syirik di dalam al-asma’ wa ash-shifat bermakna
menjadikan sekutu bagi Allah, baik itu di dalam salah satu nama-Nya, atau salah
satu sifat-Nya.
Allah
Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tiada
sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha
melihat.” (QS. Asy-syura: 11)
D.
Pennyebab
terjadinya syirik pada manusia
Pada dasarnya penyebab timbulnya kesyirikan sangat banyak
sekali, dan pada pembahasan singkat ini kita berusaha menyebutkan
pokok-pokoknya yang kemudian dari pokok inilah menjadi bercabang, diantara
pokok-pokok tersebut adalah :
1. Berlebih-lebihan dalam memuji Rasul atau memuji orang
shaleh.
Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah
memperingatkan akan hal itu dalam sabda beliau :“Janganlah kalian
berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nashrani
berlebih-lebihan dalam memuji Isa anak Maryam, sesungguhnya saya hanyalah
seorang hamba. Maka katakanlah hamba Allah dan rasul-Nya”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Jika berlebih-lebihan dalam memuji Nabi adalah sesuatu yang
terlarang, tentu lebih terlarang lagi jika berlebihan dalam memuji selain
beliau dari orang-orang shaleh atau yang lainnya. Dan hal inilah yang merupakan
penyebab kesyirikan pertama dalam kehidupan umat manusia, yaitu pada umat Nabi
Nuh ‘Alaihissalam, sebagaimana yang diceritakan Allah dalam firman-Nya :“Dan
mereka berkata ; Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan
kamu dan jangan pula sekali-kali kami meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan
jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nashr”. (QS. Nuh : 23)
Ibnu Abas ketika menafsirkan ayat ini mengatakan : Kelima
nama ini adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Maka
tatkala mereka (orang-orang shaleh) itu wafat, syetan mempengaruhi kaum Nabi
Nuh agar membuat patung-patung mereka di majelis yang biasa mereka duduk
padanya dalam rangka mengingat orang-orang shaleh tersebut, dan syetan juga
mempengaruhi mereka agar memberikan nama patung tersebut sesuai dengan nama
orang-orang shaleh itu, maka merekapun melakukannya. Ketika itu patung-patung
itu belum disembah. Akan tetapi ketika orang-orang yang membuat patung tersebut
meninggal dunia dan ilmu agama telah hilang maka patung-patung itupun disembah.
(HR. Bukhari 8/667 dan lihat tafsir Ibnu Katsir).
Berlebih-lebihan dalam memuji Rasul atau orang-orang shaleh
adalah dengan menempatkan mereka sejajar dengan Allah, baik dalam pujian
ataupun keyakinan akan sifat dan ilmu mereka, beristighatsah (meminta
perlindungan) kepada mereka ketika tertimpa bencana, tawaf dikuburan mereka,
tabarruk (mencari berkah) dari kuburan atau barang-barang peninggalan mereka,
bertawassul (menjadikan perantara) dengan mereka dalam do’a, menyembelih di
kuburan-kuburan mereka dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada mereka,
berdo’a dan meminta tolong kepada mereka padahal mereka telah meninggal dunia
dan lain sebagainya.
Sebagian orang mengatasnamakan perbuatan-perbuatan tersebut
sebagai wujud kecintaan kepada Nabi atau orang-orang shaleh dan ini adalah
anggapan yang keliru lagi menyesatkan, justru perbuatan ini adalah kesyirikan
yang sangat nyata yang telah diperingatkan Allah dan rasul-Nya.
Mencintai Nabi dan orang shaleh pada hakikatnya adalah
sesuai dengan apa yang telah diajarkan Al-Quran dan Sunnah serta apa yang telah
dicontohkan oleh para salafus-Shaleh, yaitu dengan mengetahui
keutamaan-keutamaan mereka dan mencontoh mereka dalam amal shaleh, tanpa
meremehkan atau berlebih-lebihan terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar),
mereka berdo’a ; Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah engkau membiarkan kedengkian
dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Rabb kami, sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha penyayang”. (QS. al-Hasyr : 10)
2. Ta’ashshub (fanatisme)
Fanatik terhadap tradisi dan peninggalan nenek moyang,
walaupun itu bathil dan bertentangan dengan yang hak khususnya dalam masalah
aqidah.
Allah berfirman dalam Al-Quran :“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ikutilah
apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab , (tidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami. (Apakah mereka
akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun dan tidak mendapat petunjuk”. (QS. al-Baqarah : 170)
Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman :“Dan demikianlah,
Kami tidak mengutus sebelum kamu seorangpun sebagai pemberi peringatan dalam
suatu negeri melainkan orang-orang yang hidup mewah (para pembesar) di negeri
itu berkata ; Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami menganut suatu
agama dan sesungguhnya kami adalah mengikuti jejak-jejak mereka”. (QS.
az-Zukhruf : 23)
Hal inilah yang tertanam pada diri kaum musyrikin dari zaman
dahulu sampai sekarang, dimana mereka sangat fanatik kepada peninggalan dan
adat istiadat nenek moyang, dan karena itu mereka tidak segan-segan untuk
berpaling dan menepis kebenaran yang bersumberkan kepada Al-Quran dan sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan ada juga diantara mereka yang
menyalahkan kebenaran tersebut dengan berbagai dalih dan sebutan, seperti
aliran baru, menyelisihi tradisi, memecah belah umat, membuat resah dan
sebagainya.
Sehingga kita akan menemukan kisah para nabi dan rasul dalam
al-Quran, dalam menghadapi kaum mereka sering berhadapan dengan orang-orang
yang berwatak seperti ini, seperti kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam dengan kaumnya
dalam surat Al-Mukminun : 23 dan 24, kaum Nabi Shaleh dalam surat Hud : 62,
kaum Nabi Ibrahim dalam surat as-Syura : 73, kaum musyrikin jahiliyah dalam
surat Shad : 6 dan 7 serta kisah-kisah yang lainnya.
Maka, sudah sewajarnya para ulama dan para da’i yang menyeru
umat kepada risalah tauhid juga akan mengalami hal yang serupa, akan mendapat
tantangan dan kecaman dari orang-orang yang begitu fanatik kepada peninggalan
dan ajaran nenek moyang kendatipun hal tersebut bertentangan dengan Al-Quran
dan Sunnah. Dan dari kefanatikan inilah akhirnya timbul sikap menentang dan
berpaling dari kebenaran yang kemudian akan berujung kepada kesyirikan.
Mungkin saja alasan mereka untuk tetap pada ajaran nenek
moyang walaupun bertentangan dengan kebenaran adalah karena rasa penghormatan
kepada leluhur dan sesepuh mereka, sehingga jika kita tidak menjalankan seperti
apa yang ada pada mereka seolah-olah ada rasa penentangan dan meremehkan
mereka, bukankah dalam Islam kita diperintahkan untuk patuh dan menghormati
orang tua ?
Dalil ini mungkin dapat kita jawab dengan firman Allah Ta’ala
:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan
rasul-Nya, dan bertaqwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”. (QS. Al-Hujurat : 1).
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :“Tiga hal
yang jika ada pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman, hendaklah
Allah dan rasul-Nya lebih ia cintai dari yang lainnya ……”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dan sabda beliau :“Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam
bermaksiat kepada Sang Pencipta”. (HR. Muslim)
Dari ayat dan hadits di atas jelaslah bagi kita bahwa
barometer dalam kebenaran yang mesti kita ikuti adalah Allah dan rasul-Nya,
bukan perasaan dan hawa nafsu, sekaligus menunjukkan kebathilan dalih dan
alasan yang mereka kemukan.
3. Kebodohan terhadap aqidah yang benar.
Keengganan untuk mempelajari atau mengajarkan aqidah yang
benar atau sangat sedikitnya perhatian terhadapnya, maka akan melahirkan
generasi yang tidak mengenal aqidah yang benar tersebut serta tidak menyadari
kedudukannya dalam kehidupan mereka, atau mereka tidak lagi mengetahui hal-hal
yang menyelisihinya dan membatalkannya. Sehinga pada akhirnya mereka tidak lagi
dapat membedakan yang hak dengan yang bathil, atau bahkan meyakini yang bathil
itu hak dan yang hak itu adalah suatu kebathilan, Allahul Musta’an.
Amirul mukminin Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu pernah
mengatakan bahwa : Sesungguhya nilai-nilai keislaman itu akan dicabut sedikit
demi sedikit, jika di dalam Isla tumbuh dan berkembang orang-orang yang tidak
mengenal jahiliyah.
Oleh karena itu agama kita mewajibkan kepada umatnya untuk
menuntut ilmu dan memberantas kebodohan, mengenal yang hak agar mereka dapat
mengikutiya sekaligus mengetahui yang bathil agar mereka dapat membentengi diri
darinya.
Maka kebodohan adalah awal dari kebinasaan, karena kebodohan
seseorang akan jauh dari jalan Allah, karena kebodohan seseorang akan berpaling
dari agama Allah, karena kebodohan seseorang akan terjerumus dalam kemaksiatan
dan dosa. Karena kebodohan, seseorang akan tenggelam dalam
kesyirikan, karena kebodohan mungkin seseorang akan mengatakan : bukankah Allah tidak
menghukum seseorang jika ia bodoh (tidak mengetahui) ? Kita bisa menjawabnya
dengan mengatakan : Benar, tetapi bukankah Allah dan rasul-Nya memerintahkan
kita untuk tau. Apa yang anda katakan benar adanya jika anda telah berusaha,
namun jika hal tersebut setelah ada usaha atau berada di luar kemampuan anda,
karena Allah berfirman : “Allah tidak membebani kecuali apa yang mereka mampu
untuk memikulnya” (QS. al-Baqarah : 286).
Dan lihatlah bagaimana Allah kelak akan membantah apa yang
diungkapkan oleh orang-orang yang beralasan bahwa mereka telah dibodohi oleh
nenek moyang mereka sementara mereka tidak tahu, sebagaimana yang terdapat
dalam surat Al-A’raf : 38.
Inilah beberapa sebab pokok yang menyebabkan timbulnya
kesyirikan yang telah diperingatkan oleh Allah dan rasul-Nya kepada kita semua
agar kita dapat menjauhinya dalam kehidupan kita, karena kesyirikan tersebut
adalah dosa besar yang dapat membuat seseorang keluar dari agama Islam dan
menjadikan pelakunya kekal di dalam api neraka, Nas-alullah as-Salamah Wal
‘Afiyah.
E.
Tindakan
Rasulullah dalam Menangkal Syirik
Upaya Nabi SAW dalam menjaga
kemurnian tauhid dari perkataan dan perbuatan yang menodainya, yang membuat
kemurnian tauhid menurun dan berkurang. Hal seperti itu banyak terdapat dalam
banyak hadist Nabi SAW. Sementara, Rasulullah SAW sangatlah menyayangi umatnya,
sangat ingin agar kita terhindar dari kesyirikan. Karena itulah Rasulullah
shallallahu 'alaihi was sallam berupaya menutup pintu-pintu kesyirikan, dengan
cara sebagai berikut :
1.
Tidak
berlebihan dalam memuji dan mengagungkan Nabi SAW
Seperti sabda beliau :” janganlah kalian berlebihan memujiku
seebagaimana orang – orang nasrani berlebihan memuji putera Maryam. Aku ini
tiada lain adalah hamba. Maka katakanlah hamba Allah dan Rosul – Nya”.
Beliau SAW membenci kalau mereka
mengarahkan pujian kepada beliau karena menjerumuskan mereka kepada sikap
berlebih – lebihan terhadapnya. Beliau memberi kabar bahwa mengarahkan pujian
kepada orang yang dipuji –walau memang begitu adanya- termasuk perbuatan
syetan, karena senang memuji kepadanya akan membawanya kepada sikap
membanggakan diri, dan itu menafikkan kesempurnaan tauhid. Ibadah tidak akan
tegak kecuali dengan berputar pada porosnya, yaitu ketundukan yang amat sangat
dalam kecintaanya yang paling tinggi.
2.
Beliau
melarang kita dari melakukan perbuatan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah
dan Larangan menjadikan kubur beliau sebagai ‘ied (tempat yang didatangi
berulang-ulang).
Syaikhul islam rahimahullahu berkata, “kata Al – ‘Id merupakan kata benda
(sebutan) terhadap pertemuan umum yang kembali terulang yang berlaku menurut
kebiasaan, baik kembali dengan kembalinya tahun, minggu, bulan, dan lain
sebagainya.”
Ibnu Al Qayyin rohimahullahu berkata: “ Al ‘Id adalah sesuatu yang biasa didatangi
dan dituju, baik berupa masa ataupun tempat. Jika berupa nama tempat maka ia
adalah tempat yang dimaksudkan didalamnya untuk berkumpul, dijadikan tempat
ibadah dan sebagainya, sebagimana masjidil Haram, Minna, Musdalifah, Padang
Arafah dan al Masya’ir yang dijadikan oleh Allah sebagai ‘Id bagi kaum
Hunafa’(orang orang yang lurus), sebagaimana pula dia menjadikan hari – hari
ibadah di tempat - tempat tersebut sebagai ‘Id.
Dan dalam hal ini rosulullah
melarang untuk melakukan perbuatan menjadikan kuburan sebagi tempat ibadah dan
melarang kuburan beliau untuk di jadikan sebagi tempat ‘Id sebagaimana sabdaNya
; Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:“jangan
jadikan rumah kalian sebagai kuburan, dan jangan jadikan kuburanku sebagai Id,
bershalawatlah kepadaku karena shalawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun
engkau berada”.
- Larangan bersafar menuju tempat yang dianggap
berkah kecuali tiga masjid.
Anggapan adanya
tempat-tempat keramat seperti masjid-masjid, kuburan-kuburan wali atau
petilasan-petilasan tertentu telah mendorong sebagian orang dengan sengaja
mempersiapkan bekal untuk melakukan perjalanan jauh (safar) menuju tempat
tersebut, baik sendirian ataupun berombongan. Mereka berkeyakinan tempat-tempat
itu bisa berperan menjadikan doa dan ibadah menjadi lebih mustajab (terkabul)
daripada di tempat-tempat selainnya. Karenanya merekapun mengkhususkan
beribadah di sana terlebih lagi bila itu adalah kuburan orang-orang shalih atau
wali, mereka bahkan bisa beri’tikaf dan bermalam hingga berhari-hari.
Secara umum melakukan perjalanan jauh atau safar tidaklah dilarang
di dalam Islam bahkan Islam mengajarkan adab safar. Akan tetapi sengaja
bersafar ke suatu tempat hanya untuk melakukan peribadatan khusus di sana,
seperti fenomena di atas adalah perbuatan terlarang yang bertentangan dengan
hadits Nabi yang dikenal dengan hadits “Syaddur Rihal”. Nabi bersabda,
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الْحَرَامِ،
وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى، وَمَسْجِدِي
“Tidaklah diikat pelana unta (tidak dilakukan perjalanan jauh safar)
kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Al-Aqsha, dan masjidku
(Masjid Nabawi).” (HR. al-Bukhari, no. 1197, dari
Abu Sa’id al Khudri).
Ibnu Hajar al-Asqalany asy-Syafi’i berkata, “Yang dimaksud dengan
(وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ)
adalah larangan bersafar menuju selainnya (tiga masjid itu).
Ath-Thibi berkata, “Larangan dengan gaya bahasa bentuk penafian (negasi)
seperti ini lebih tegas daripada hanya kata larangan semata, seolah-olah
dikatakan sangat tidak pantas melakukan ziarah ke selain tempat-tempat ini.”(Fathul
Bari, 3/64).
Tiga masjid tersebut lebih utama daripada
masjid lainnya, dikarenakan ketiganya itu masjid para nabi.Masjidil Haram
kiblat kaum muslimin dan tujuan berhaji, Masjidil Aqsha kiblat kaum terdahulu
dan masjid Nabawi masjid yang terbangun di atas ketakwaan [lihat Fathul Bari,
3/64].
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah serta Asma dan Sifat-Nya.
2. Jenis-jenis syirik yaitu syirik besar adalah
memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada
selain Allah dan Syirik kecil yaitu syirik yang tidak menjadikan pelakunya
keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah
(jalan, perantara) kepada syirik besar, misalnya dilakukan dalam bentuk
perkataan.
3.. Syirik ada dua bentuk yaitu syirik dalam Rububiyyah
yaitu menjadikan sekutu selain Allah yang mengatur alam semesta dan Syirik
dalam uluhiyyah yang bermakna menyekutukan Allah di dalam ibadah.
4. penyebab timbulnya kesyirikan diantaranya yaitu
berlebih-lebihan dalam memuji Rasul atau memuji orang shaleh, ta’ashshub
(fanatisme), dan kebodohan terhadap aqidah yang benar.
5. Tindakan
Nabi SAW dalam menangkal syirik sebagai contoh yaitu : Tidak berlebihan dalam memuji dan mengagungkan
Nabi SAW, beliau melarang kita dari melakukan
perbuatan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dan Larangan menjadikan
kubur beliau sebagai ‘ied (tempat yang didatangi berulang-ulang), dan adanya larangan bersafar menuju tempat yang
dianggap berkah kecuali tiga masjid.
DAFTAR PUSTAKA
Alu syaikh,
Hasan Abdurrahman. 2002. Fathul Majid. Jakarta
: Pustaka Azzam
Subhani, Ja’far. 1996. Tauhid Dan
Syirik. Bandung : Mizan
Wahhab, Muhammad Bin Abdul. 2000. Tegakkan Tauhid Tumbangkan Syirik. Yogyakarta : Mitra Pustaka
Tim Penyusun.
2008. Akidah
Akhlak al-Hikmah. Surabaya: Akik Pusaka
http://artikeliman.blogspot.com/2009/03/bahaya-syirik.html
Al – Qur’an
http://abangdani.wordpress.com/2012/03/07/masihkah-ada-syirik-di-zaman-modern/