Senin, 12 Juni 2017



 JADIKAN KEUTUHAN NKRI SEBAGAI HARGA MATI

Pada hakikatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme, yaitu tekad sebuah masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terbentuknya negara yang pada dasarnya mensyaratkan adanya wilayah, pemerintahan, penduduk sebagai warga negara, dan pengakuan dari negara-negara lain sudah dipenuhi oleh NKRI. NKRI adalah negara berdaulat yang telah mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. NKRI mempunyai kedudukan dan kewajiban yang sama dengan negara-negara lain di dunia, yaitu ikut serta memelihara dan menjaga perdamaian dunia karena kehidupan di NKRI tidak dapat terlepas dari pengaruh kehidupan dunia internasional (global).
NKRI didirikan berdasarkan UUD 1945 yang mengatur tentang kewajiban negara terhadap warganya dan hak serta kewajiban warga negara terhadap negaranya dalam suatu sistem kenegaraan. Kewajiban negara terhadap warganya pada dasarnya adalah memberikan kesejahteraan hidup dan keamanan lahir batin sesuai dengan sistem demokrasi yang dianutnya. Negara juga wajib melindungi hak asasi warganya sebagai manusia secara individual (HAM) berdasarkan ketentuan internasional, yang dibatasi oleh ketentuan agama, etika moral, dan budaya yang berlaku di negara Indonesia dan oleh sistem kenegaraan yang digunakan.
Pelaksanaan NKRI dijelaskan dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Ketentuan ini dijelaskan dalam pasal 18 UUD 1945 ayat (1) yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Kebangkitan ideologi anti Pancasila yang semakin merebak diseluruh penjuru Indonesia membuat resah sebagian kalangan. Selain usaha yang akan merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), juga merubah tatanan sistem demokrasi yang sudah di jalankan bertahun-tahun di Indonesia.
Mengenai persoalan serangan ideologi transnasional terhadap ideologi Pancasila, Putri Pramathana Puspa Seruni Paundrianagari Guntur Soekarno Putri menegaskan bahwa yang tepat dan sudah mutlak ideology yang digunakan oleh Negara Indonesia adalah Pancasila. Sementara itu, dasar konstitusi berkiblat pada Undang-Undang Dasar 1945.
“Warga Negara Indonesia harus meyakini satu dasar konstitusi pemersatu kita yaitu pancasila. Itu merupakan tameng serta senjata untuk menangkis ideology apapun itu, baik liberalisme, capitalisme maupun islam fundamentalis,” jelasnya kepada HR usai kegiatan HUT PDI Perjuangan dihalaman Kelurahan Mekarsari, Kecamatan/Kota Banjar, Minggu (8/5/2016).
Wanita yang akrab dipanggil Puti Guntur menambahkan bahwa Pertarungan ideology tidak akan pernah berhenti di Negara manapun. Akan tetapi bangsa Indonesia harus menyadari dan meyakini pancasila serta dasar konstitusi UUD 1945 sudah menjadi harga mati dalam segala aspek, baik pemerintahan maupun system Negara. Sementara itu, pemerintah tentu tidak mendiamkan ideologi transnasional itu berkembang biak di Negara ini.
“Pemerintah memiliki punya cara sendiri untuk menangkal ideologi itu, baik yang liberal, kapital, islam fundamental serta ideologi lainnya. Penenaman cinta tanah air kepada penerus bangsa, khususnya mulai sejak anak-anak hingga dewasa perlu ditingkatkan. Seperti yang di ungkapkan oleh kakek saya Bung Karno, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Jasmerah.
Dari informasi yang dihimpun oleh HR, penyebarluasan simbol-simbol perlawanan terhadap Negara semakin banyak di berbagai daerah. Selain menggunakan atribut kaos, bendera, mainan anak juga propaganda melalui media social pun turut dilakukan oleh sekelompok orang yang akan merusak NKRI. Paling dikhawatirkan adalah kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menggunakan gaya baru. Selain itu, keresahan masyarakat pun juga muncul dengan adanya kelompok yang semangat memperjuangkan system Negara yang berdasar agama islam.
Menanggapi hal tersebut, Zaini Abdul Hamid, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Syariah UIN SGD, menyoroti persoalan gejolak perang ideologi tersebut. Dia menjelaskan pemerintah bisa saja menangkal ideologi komunis yang ada di Indonesia dengan caranya sendiri. Sejarah sudah membuktikannya. Akan tetapi paham yang merusak NKRI melalui jalur agama pemerintah belum memiliki ketegasan yang nyata.
“Saya prihatin Ketua MUI Kota Banjar dalam sebuah video di Youtube yang diterbitkan pada 3 Mei 2016 menyatakan kewajiban warga negara indonesia memperjuangkan syariat islam. Padahal Negara Indonesia sudah sepakat Ideologi Pancasila sudah mutlak harga mati untuk Negara ini. Dalam Piagam Jakarta yang menjadi jembatan polemik antara agama dan Negara,” terangnya.
Zaini menambahkan bahwa umat islam memang betul harus mewajibkan pemeluknya mengikuti syariat islam. Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak harus dalam bentuk “Negara Islam” atau dalam bentuk hokum islam formal. Patokan dasar dalam memperjuangkan islam itu adalah substansinya, bukan simbolnya.
“Jadi sekali lagi, Pemerintah harus memberikan ketegasan kepada sekelompok orang yang memperjuangkan paham selain Pancasila. Jika dibiarkan, maka kehancuran Negara Indonesia tinggal menghitung waktu seperti Negara-negara di timur tengah,“ tutupnya.
Kita tentunya sudah tahu bahwa syarat berdirinya sebuah negara ada empat, yaitu memiliki wilayah, memiliki penduduk, memiliki pemerintahan dan adanya pengakuan dari negara lain. Dan karena memenuhi empat syarat itulah kemudian Negara Indonesia lahir dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Seiring dengan berjalannya waktu, maka ternyata negara tidaklah hanya harus memenuhi empat syarat diatas, untuk membentuk atau tepatnya mempertahankan dirinya sebuah negara juga mesti memiliki sistem perekonomian yang kuat dan sistem pertahanan yang mumpuni.
Saat ini, TNI sebagai alat pertahanan negara menurut data sampai 16 Agustus 2006, memiliki prajurit sebanyak 369.389 orang. Sedangkan pada Alutsista (persejataan), sebagian besar Alutsista yang dimiliki TNI sudah mencapai usia 25-40 tahun, sehingga sebagian tidak bisa dioperasikan, persoalan lainnya selain tentunya pada sisi kuantitas alutista yang ada juga pada kualitas yang memerlukan modernisasi jika ingin sejajar dengan pertahanan negara lainnya.
Utuk menciptakan Indonesia yang kuat secara ekonomi, politik, sosiokultural dan juga pertahanan militer, sebuah cermin berharga yang menampilkan fakta bahwa penduduk kita kalah jauh produktif dibandingkan dengan penduduk Singapura harus dijadikan pegangan oleh segenap bangsa Indonesia. Dimana penduduk Singapura memiliki produktifitas 23 kali lipat dibanding penduduk kita menjadi persoalan yang harus dijawab bukan hanya oleh pemerintah, tapi juga seluruh rakyat Indonesia. Rakyat tidak hanya harus menuntut adanya anggaran yang besar tapi juga harus menyumbang agar terciptanya pendapatan Negara yang besar pula. Karena NKRI adalah miliknya seluruh rakyat Indonesia bukan hanya pemerintah ataupun TNI, jadi sudah saatnya semuanya bangun dan berjalan lebih cepat dari biasanya.




MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SYIRIK DAN BAHAYANYA BAGI MANUSIA


 


Disusun Oleh :
1.     Dini Nur Amania                     (1604020035)
2.     Nurul Azmi Pamungkas           (1604020036)
3.     Belmiro Satria Nugrahandy      (1604020037)
4.     Liza Pratikna                           (1604020038)



PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2017
SYIRIK DAN BAHAYANYA BAGI MANUSIA
BAB 1
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Muhammad Saw, kepada keluarga dan para sahabatnya serta mereka yang mengikuti jejak langkahnya dengan kebaikan hingga hari kebangkitan.
Dalam surat adz- Dzariyat ayat 56 Allah SWT berfirman, “dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada – Ku”. Firman in sangat jelas bahwa penciptaan manusia dan jin hanyalah untuk beribadah kepada – Nya. Segala sesuatu tentang peribadahan hanyalah kepada Allah kita menyembah bukan kepada selain – Nya. Sehinnga tujuan hidup kita adalah utuk beribadah kepada Allah SWT untun menggapai ridha – Nya.
Syirik yang merupakan salah satu bentuk penghambaan kepada selain Allah adalah dosa besar yang tidak terampuni. Kesyrikan manusia sudah ada dari masa dakwah para nabi hingga sekarang. Kesesatan manusia ini bukan tanpa alasan, karena tingkat keimanan yang dimiliki oleh setiap manusia berbeda – beda. Dan hal ini syetan juga sangat senang dan antusias untuk selalu menggoda manusia ikut dalam kesesatan syetan. Bahwasanya syetan sudah berjanji setelah penciptaanya bahwa syetan akan terus menggoda anak cucu Adam untuk ikut sesat dan masuk neraka bersama syetan tersebut, na’udzubillah min dzalik.
Permasalahan kesyirikan ini bukan suatu masalah yang kecil, ini merupakan permasalahan ummat yang sangat serius  di akhir zaman seperti ini. Karena hilangnya ghirah umat muslim ini lah salah yang menjadi sebabnya. Maka dakwah untuk memerangi kesyirikan senantiasa harus di syiarkan agar ummat di dunia ini atau disekitar kita tidak terjerumus kedalam kesyirikan. Sehinnga berdasarkan permasalahan ini kami menulis sebuah makalah yang berjudul ‘Syirik dan bahanya bagi manusia’ yang akan dibahas dibawah ini.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian syirik kepada Allah?
2.      Apa saja jenis – jenis dari syirik kepada Allah?
3.      Apa bentuk – bentuk syirik kepada Allah?
4.      Apa yang menyebabkan terjadinya syirik pada manusia?
5.      Bagaimana tindakan Rosulullah menangkal syirik?

C.    TUJUAN
1. mengetahui  sirik kepada Alloh SWT
2. Mengetahui jenis-jenis syirik kepada Aloh SWT
3. Mengetahui bentuk-bentuk syirik kepada Alloh SWT
4. mengetahui penyebab terjadinya syirik
5. mengetahui tindakan Rosululloh menangkal syirik pada masanya

















BAB 2
PEMBAHASAN
A.    Definis Syirik Kepada Allah Swt
Secara etimologi, syirik berarti persekutuan yang terdiri dari dua atau lebih yang disebut sekutu. Sedangkan secara terminologi, syirik berarti menjadikan bagi Allah tandingan atau sekutu. Definisi ini bermuara dari hadis Nabi tentang dosa terbesar,
أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهْوَ خَلَقَكَ
…Engkau menjadikan sekutu bagi Allah sedangkan Dia yang menciptakanmu.”
Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah serta Asma dan Sifat-Nya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Syirik ada dua macam; pertama syirik dalam Rububiyyah, yaitu menjadikan sekutu selain Allah yang mengatur alam semesta, sebagaimana firman-Nya:
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ لَا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ
“Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.’” [Saba’: 22]
Kedua, syirik dalam Uluhiyyah, yaitu beribadah (berdo’a) kepada selain Allah, baik dalam bentuk do’a ibadah maupun do’a masalah .”
Umumnya yang dilakukan manusia adalah menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah adalah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah di samping berdo’a kepada Allah, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo’a, dan sebagainya kepada selain-Nya.
Karena itu, barangsiapa menyembah dan berdo’a kepada selain Allah berarti ia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“… Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” [Luqman: 13]
Diriwayatkan dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ (ثَلاَثًا)، قَالُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: َاْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ -وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ-: أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ. قَالَ: فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ.
“Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang dosa-dosa besar yang paling besar?” (Beliau mengulanginya tiga kali.) Mereka (para Sahabat) menjawab: “Tentu saja, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” -Ketika itu beliau bersandar lalu beliau duduk tegak seraya bersabda:- “Dan ingatlah, (yang ketiga) perkataan dusta!” Perawi berkata: “Beliau terus meng-ulanginya hingga kami berharap beliau diam.”
Syirik (menyekutukan Allah) dikatakan dosa besar yang paling besar dan kezhaliman yang paling besar, karena ia menyamakan makhluk dan Khaliq (Pencipta) pada hal-hal yang khusus bagi Allah Ta’ala. Barangsiapa yang menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia telah menyamakannya dengan Allah dan ini sebesar-besar kezhaliman. Zhalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Akan tetapi, jika disebutkan secara mutlak, syirik berarti memalingkan suatu ibadah kepada selain Allah. Dan inilah makna syirik secara khusus. Sebagaimana tauhid bermakna mengesakan Allah -dalam ibadah- jika disebut secara mutlak. Karena kesyirikan jenis inilah yang diperangi oleh Rasulullah semasa hidup beliau. Bahkan, kesyirikan pertama yang terjadi di muka bumi ini disebabkan oleh penyelewengan dalam beribadah kepada selain Allah yang telah menimpa kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam.
Diriwayatkan bahwa di zaman Nabi Nuh terdapat beberapa orang saleh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kepada manusia-manusia setelah mereka untuk mendirikan patung orang-orang saleh tersebut dan menamakannya dengan nama-nama mereka. Hal itu bertujuan untuk membuat mereka semangat dalam beribadah tatkala melihat patung tersebut.
Kala itu tiada seorang pun yang menyembah patung itu. Akan tetapi, ketika generasi pembuat patung wafat dan manusia berada di dalam kungkungan kebodohan, maka generasi setelahnya menjadikan patung-patung tersebut sebagai sesembahan. Mereka telah menduakan Allah dan itulah sebesar-besar dosa.
B.      Jenis-Jenis Syirik
Syirik ada dua jenis: Syirik Besar dan Syirik Kecil.
1. Syirik Besar
Syirik besar adalah memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaithan, dan lainnya. Atau seseorang takut kepada orang mati (mayit) yang (dia menurut perkiraannya) akan membahayakan dirinya, atau mengharapkan sesuatu kepada selain Allah, yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat, atau seseorang yang meminta sesuatu kepada selain Allah, di mana tidak ada manusia pun yang mampu memberikannya selain Allah, seperti memenuhi hajat, menghilangkan kesulitan dan selain itu dari berbagai macam bentuk ibadah yang tidak boleh dilakukan melainkan ditujukan kepada Allah saja.[9] Allah Ta’ala berfirman:
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Do’a mereka di dalamnya adalah, ‘Subhanakallahumma,’ dan salam penghormatan mereka adalah: ‘Salaamun.’ Dan penutup do’a mereka adalah: ‘Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamin.’” [Yunus: 10]
Syirik besar dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dalam keadaan syirik dan belum bertaubat daripadanya.
Syirik besar ada banyak, sedangkan di sini akan disebutkan empat macamnya saja:
a.       Syirik do’a, yaitu di samping ia berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia juga berdo’a kepada selain-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” [Al-‘Ankabuut: 65]
Syirik niat, keinginan dan tujuan, yaitu ia menujukan suatu bentuk ibadah untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Huud: 15-16]
b.      Syirik ketaatan, yaitu mentaati selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan rabb) al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada Allah Yang Maha Esa; tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [At-Taubah: 31]
c.       Syirik mahabbah (kecintaan), yaitu menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selain-Nya dalam hal kecintaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Dan seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).” [Al-Baqarah: 165]
2. Syirik Kecil
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (jalan, perantara) kepada syirik besar.
Syirik kecil ada dua macam:
Syirik zhahir (nyata), yaitu syirik kecil dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan selain Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ.
“Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik.”
Syirik dan kufur yang dimaksud di sini adalah syirik dan kufur kecil.
Qutailah binti Shaifi al-Juhaniyah Radhiyallahu anhuma menuturkan bahwa ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik. Engkau mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu,’ dan mengucapkan: ‘Demi Ka’bah.’” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabat apabila hendak bersumpah agar mengucapkan:
وَرَبِّ الْكَعْبَةِ، وَأَنْ يَقُوْلُوْا: مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Demi Allah, Pemilik Ka’bah,” dan mengucapkan: “Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu.’”
Contoh lain syirik dalam bentuk ucapan yaitu perkataan:
مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ.
“Atas kehendak Allah dan kehendakmu.”
Ucapan tersebut salah, dan yang benar adalah:
مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Atas kehendak Allah, kemudian karena kehendakmu.”
Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَلَفَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَقُلْ: مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ، وَلَكِنْ لِيَقُلْ: مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Apabila seseorang dari kalian bersumpah, janganlah ia mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu.’ Akan tetapi hendaklah ia mengucapkan:
مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Atas kehendak Allah kemudian kehendakmu.
Kata ثُـمَّ (kemudian) menunjukkan tertib berurutan, yang berarti menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [At-Takwir: 29]
Adapun contoh syirik dalam perbuatan, seperti memakai gelang, benang, dan sejenisnya sebagai pengusir atau penangkal marabahaya. Seperti menggantungkan jimat (tamimah) karena takut dari ‘ain (mata jahat) atau lainnya. Jika seseorang meyakini bahwa kalung, benang atau jimat itu sebagai penyerta untuk menolak marabahaya dan menghilangkannya, maka perbuatan ini adalah syirik ashghar, karena Allah tidak menjadikan sebab-sebab (hilangnya marabahaya) dengan hal-hal tersebut. Adapun jika ia berkeyakinan bahwa dengan memakai gelang, kalung atau yang lainnya dapat menolak atau mengusir marabahaya, maka per-buatan ini adalah syirik akbar (syirik besar), karena ia menggantungkan diri kepada selain Allah.
Syirik khafi (tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang), dan lainnya. Seperti melakukan suatu amal tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia ingin mendapatkan pujian manusia, misalnya dengan memperindah shalatnya (karena dilihat orang) atau bershadaqah agar dipuji dan memperindah suaranya dalam membaca (Al-Qur-an) agar didengar orang lain, sehingga mereka menyanjung atau memujinya.
Suatu amal apabila tercampur dengan riya’, maka amal tersebut tertolak, karena itu Allah memperintahkan kita untuk berlaku ikhlas. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia sepertimu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Allah Yang Esa.’’ Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Maksudnya, katakanlah (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) kepada orang-orang musyrik yang mendustakan ke-Rasulanmu: “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti juga dirimu.” Maka barangsiapa yang menganggap diriku (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) adalah pendusta, hendaklah ia mendatangkan sebagaimana yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui yang ghaib, yaitu tentang perkara-perkara terdahulu yang pernah disampaikan beliau, seperti tentang Ashhaabul Kahfi, tentang Dzul Qarnain, atau perkara ghaib lainnya, melainkan (sebatas) yang telah diwahyukan Allah Ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ilah (sesembahan) yang mereka seru dan mereka ibadahi, tidak lain adalah Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan-Nya -yaitu mendapat pahala dan kebaikan balasan-Nya- maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih yang sesuai dengan syari’at-Nya, serta tidak menyekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabb-nya. Amal perbuatan inilah yang di-maksudkan untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
Kedua hal tersebut (amal shalih dan tidak menyekutukan Allah) merupakan rukun amal yang maqbul (diterima). Yaitu harus benar-benar tulus karena Allah (menjauhi perbuatan syirik) dan harus sesuai dengan syari’at (Sunnah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، فَقَالُوْا: وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: اَلرِّيَاءُ.
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para Sahabat) bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu riya’.” [18]
Termasuk juga dalam syirik, yaitu seseorang yang melakukan amal untuk kepentingan duniawi, seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau berjihad untuk mendapatkan harta benda.
Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّنَارِ، تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْصَةِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْلَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ.
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah, celakalah hamba khamilah [19]. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.”[20]

C.    Bentuk Bentuk Syirik

1.      Syirik di dalam ibadah (uluhiyyah)
Syirik di dalam uluhiyyah Allah bermakna menyekutukan Allah di dalam ibadah. Atau dengan arti lain menyelewengkan ibadah kepada selain Allah. Ini adalah definisi syirik ketika penyebutannya bersifat mutlak. Karena kesyirikan ini yang paling menjamur, dan parahnya, tidak banyak orang yang menyadari akan hal itu. Betapa banyak manusia menduakan Allah di dalam penghambaan dirinya tanpa mereka sadari.
Termasuk ibadah di antaranya adalah salat, zakat, puasa, sembelihan, sumpah, doa, istigasah, cinta, takut, harap, dan segala bentuk peribadahan seorang hamba kepada Allah. Oleh sebab itu, termasuk bentuk kesyirikan ketika seseorang menyembelih kurban untuk jin semisal sesajen, berdoa meminta pertolongan kepada orang mati, atau penyelewangan ibadah lainnya kepada selain Allah.

Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Dan sesungguhnya masjid-masjid itu ialah milik Allah. Maka janganlah kalian menyembah sesuatu pun di dalamnya selain Allah.” (QS. Al-Jinn: 18)
2.      Syirik di dalam perbuatan Allah (rububiyyah)
Syirik di dalam rububiyyah Allah berarti meyakini adanya selain Allah yang melakukan perbuatan-perbuatan Allah. Atau menyamakan makhluk dengan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan rububiyyah-Nya. Misalnya, memercayai adanya sang pencipta selain Allah, pemberi rezeki, penurun hujan, dan pengatur alam semesta.
Syirik jenis ini umumnya sedikit. Karena kaum kafir Quraisy yang diperangi oleh Rasulullah pun meyakini tauhid jenis ini. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah wahai Muhammad, ‘Siapakah yang memberi kalian rezeki dari langit dan bumi? Siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan? Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakan, ‘Lantas mengapa kalian tidak bertakwa?” (QS. Yunus: 31)
3.      Syirik di dalam nama dan sifat-Nya (asma’ wa shifat)
Syirik di dalam al-asma’ wa ash-shifat bermakna menjadikan sekutu bagi Allah, baik itu di dalam salah satu nama-Nya, atau salah satu sifat-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Asy-syura: 11)
D.    Pennyebab terjadinya syirik pada manusia
Pada dasarnya penyebab timbulnya kesyirikan sangat banyak sekali, dan pada pembahasan singkat ini kita berusaha menyebutkan pokok-pokoknya yang kemudian dari pokok inilah menjadi bercabang, diantara pokok-pokok tersebut adalah :
1. Berlebih-lebihan dalam memuji Rasul atau memuji orang shaleh.
Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah memperingatkan akan hal itu dalam sabda beliau :“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa anak Maryam, sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah hamba Allah dan rasul-Nya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika berlebih-lebihan dalam memuji Nabi adalah sesuatu yang terlarang, tentu lebih terlarang lagi jika berlebihan dalam memuji selain beliau dari orang-orang shaleh atau yang lainnya. Dan hal inilah yang merupakan penyebab kesyirikan pertama dalam kehidupan umat manusia, yaitu pada umat Nabi Nuh ‘Alaihissalam, sebagaimana yang diceritakan Allah dalam firman-Nya :“Dan mereka berkata ; Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kami meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nashr”. (QS. Nuh : 23)
Ibnu Abas ketika menafsirkan ayat ini mengatakan : Kelima nama ini adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Maka tatkala mereka (orang-orang shaleh) itu wafat, syetan mempengaruhi kaum Nabi Nuh agar membuat patung-patung mereka di majelis yang biasa mereka duduk padanya dalam rangka mengingat orang-orang shaleh tersebut, dan syetan juga mempengaruhi mereka agar memberikan nama patung tersebut sesuai dengan nama orang-orang shaleh itu, maka merekapun melakukannya. Ketika itu patung-patung itu belum disembah. Akan tetapi ketika orang-orang yang membuat patung tersebut meninggal dunia dan ilmu agama telah hilang maka patung-patung itupun disembah. (HR. Bukhari 8/667 dan lihat tafsir Ibnu Katsir).
Berlebih-lebihan dalam memuji Rasul atau orang-orang shaleh adalah dengan menempatkan mereka sejajar dengan Allah, baik dalam pujian ataupun keyakinan akan sifat dan ilmu mereka, beristighatsah (meminta perlindungan) kepada mereka ketika tertimpa bencana, tawaf dikuburan mereka, tabarruk (mencari berkah) dari kuburan atau barang-barang peninggalan mereka, bertawassul (menjadikan perantara) dengan mereka dalam do’a, menyembelih di kuburan-kuburan mereka dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada mereka, berdo’a dan meminta tolong kepada mereka padahal mereka telah meninggal dunia dan lain sebagainya.
Sebagian orang mengatasnamakan perbuatan-perbuatan tersebut sebagai wujud kecintaan kepada Nabi atau orang-orang shaleh dan ini adalah anggapan yang keliru lagi menyesatkan, justru perbuatan ini adalah kesyirikan yang sangat nyata yang telah diperingatkan Allah dan rasul-Nya.
Mencintai Nabi dan orang shaleh pada hakikatnya adalah sesuai dengan apa yang telah diajarkan Al-Quran dan Sunnah serta apa yang telah dicontohkan oleh para salafus-Shaleh, yaitu dengan mengetahui keutamaan-keutamaan mereka dan mencontoh mereka dalam amal shaleh, tanpa meremehkan atau berlebih-lebihan terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a ; Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha penyayang”. (QS. al-Hasyr : 10)
2. Ta’ashshub (fanatisme)  
Fanatik terhadap tradisi dan peninggalan nenek moyang, walaupun itu bathil dan bertentangan dengan yang hak khususnya dalam masalah aqidah.
Allah berfirman dalam Al-Quran :“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab , (tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk”. (QS. al-Baqarah : 170)
Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman :“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorangpun sebagai pemberi peringatan dalam suatu negeri melainkan orang-orang yang hidup mewah (para pembesar) di negeri itu berkata ; Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah mengikuti jejak-jejak mereka”. (QS. az-Zukhruf : 23)
Hal inilah yang tertanam pada diri kaum musyrikin dari zaman dahulu sampai sekarang, dimana mereka sangat fanatik kepada peninggalan dan adat istiadat nenek moyang, dan karena itu mereka tidak segan-segan untuk berpaling dan menepis kebenaran yang bersumberkan kepada Al-Quran dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan ada juga diantara mereka yang menyalahkan kebenaran tersebut dengan berbagai dalih dan sebutan, seperti aliran baru, menyelisihi tradisi, memecah belah umat, membuat resah dan sebagainya.
Sehingga kita akan menemukan kisah para nabi dan rasul dalam al-Quran, dalam menghadapi kaum mereka sering berhadapan dengan orang-orang yang berwatak seperti ini, seperti kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam dengan kaumnya dalam surat Al-Mukminun : 23 dan 24, kaum Nabi Shaleh dalam surat Hud : 62, kaum Nabi Ibrahim dalam surat as-Syura : 73, kaum musyrikin jahiliyah dalam surat Shad : 6 dan 7 serta kisah-kisah yang lainnya.
Maka, sudah sewajarnya para ulama dan para da’i yang menyeru umat kepada risalah tauhid juga akan mengalami hal yang serupa, akan mendapat tantangan dan kecaman dari orang-orang yang begitu fanatik kepada peninggalan dan ajaran nenek moyang kendatipun hal tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Dan dari kefanatikan inilah akhirnya timbul sikap menentang dan berpaling dari kebenaran yang kemudian akan berujung kepada kesyirikan.
Mungkin saja alasan mereka untuk tetap pada ajaran nenek moyang walaupun bertentangan dengan kebenaran adalah karena rasa penghormatan kepada leluhur dan sesepuh mereka, sehingga jika kita tidak menjalankan seperti apa yang ada pada mereka seolah-olah ada rasa penentangan dan meremehkan mereka, bukankah dalam Islam kita diperintahkan untuk patuh dan menghormati orang tua ?
Dalil ini mungkin dapat kita jawab dengan firman Allah Ta’ala :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan rasul-Nya, dan bertaqwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Hujurat : 1).
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :“Tiga hal yang jika ada pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman, hendaklah Allah dan rasul-Nya lebih ia cintai dari yang lainnya ……”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sabda beliau :“Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta”. (HR. Muslim)
Dari ayat dan hadits di atas jelaslah bagi kita bahwa barometer dalam kebenaran yang mesti kita ikuti adalah Allah dan rasul-Nya, bukan perasaan dan hawa nafsu, sekaligus menunjukkan kebathilan dalih dan alasan yang mereka kemukan.
3. Kebodohan terhadap aqidah yang benar.
Keengganan untuk mempelajari atau mengajarkan aqidah yang benar atau sangat sedikitnya perhatian terhadapnya, maka akan melahirkan generasi yang tidak mengenal aqidah yang benar tersebut serta tidak menyadari kedudukannya dalam kehidupan mereka, atau mereka tidak lagi mengetahui hal-hal yang menyelisihinya dan membatalkannya. Sehinga pada akhirnya mereka tidak lagi dapat membedakan yang hak dengan yang bathil, atau bahkan meyakini yang bathil itu hak dan yang hak itu adalah suatu kebathilan, Allahul Musta’an.
Amirul mukminin Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu pernah mengatakan bahwa : Sesungguhya nilai-nilai keislaman itu akan dicabut sedikit demi sedikit, jika di dalam Isla tumbuh dan berkembang orang-orang yang tidak mengenal jahiliyah.
Oleh karena itu agama kita mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu dan memberantas kebodohan, mengenal yang hak agar mereka dapat mengikutiya sekaligus mengetahui yang bathil agar mereka dapat membentengi diri darinya.
Maka kebodohan adalah awal dari kebinasaan, karena kebodohan seseorang akan jauh dari jalan Allah, karena kebodohan seseorang akan berpaling dari agama Allah, karena kebodohan seseorang akan terjerumus dalam kemaksiatan dan dosa. Karena kebodohan, seseorang akan tenggelam dalam kesyirikan, karena kebodohan mungkin seseorang akan mengatakan : bukankah Allah tidak menghukum seseorang jika ia bodoh (tidak mengetahui) ? Kita bisa menjawabnya dengan mengatakan : Benar, tetapi bukankah Allah dan rasul-Nya memerintahkan kita untuk tau. Apa yang anda katakan benar adanya jika anda telah berusaha, namun jika hal tersebut setelah ada usaha atau berada di luar kemampuan anda, karena Allah berfirman : “Allah tidak membebani kecuali apa yang mereka mampu untuk memikulnya” (QS. al-Baqarah : 286).
Dan lihatlah bagaimana Allah kelak akan membantah apa yang diungkapkan oleh orang-orang yang beralasan bahwa mereka telah dibodohi oleh nenek moyang mereka sementara mereka tidak tahu, sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-A’raf : 38.
Inilah beberapa sebab pokok yang menyebabkan timbulnya kesyirikan yang telah diperingatkan oleh Allah dan rasul-Nya kepada kita semua agar kita dapat menjauhinya dalam kehidupan kita, karena kesyirikan tersebut adalah dosa besar yang dapat membuat seseorang keluar dari agama Islam dan menjadikan pelakunya kekal di dalam api neraka, Nas-alullah as-Salamah Wal ‘Afiyah.
E.     Tindakan Rasulullah dalam Menangkal Syirik
                  Upaya Nabi SAW dalam menjaga kemurnian tauhid dari perkataan dan perbuatan yang menodainya, yang membuat kemurnian tauhid menurun dan berkurang. Hal seperti itu banyak terdapat dalam banyak hadist Nabi SAW. Sementara, Rasulullah SAW sangatlah menyayangi umatnya, sangat ingin agar kita terhindar dari kesyirikan. Karena itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi was sallam berupaya menutup pintu-pintu kesyirikan, dengan cara sebagai berikut :
1.      Tidak berlebihan dalam memuji dan mengagungkan Nabi SAW
Seperti sabda beliau :” janganlah kalian berlebihan memujiku seebagaimana orang – orang nasrani berlebihan memuji putera Maryam. Aku ini tiada lain adalah hamba. Maka katakanlah hamba Allah dan Rosul – Nya”.
Beliau SAW membenci kalau mereka mengarahkan pujian kepada beliau karena menjerumuskan mereka kepada sikap berlebih – lebihan terhadapnya. Beliau memberi kabar bahwa mengarahkan pujian kepada orang yang dipuji –walau memang begitu adanya- termasuk perbuatan syetan, karena senang memuji kepadanya akan membawanya kepada sikap membanggakan diri, dan itu menafikkan kesempurnaan tauhid. Ibadah tidak akan tegak kecuali dengan berputar pada porosnya, yaitu ketundukan yang amat sangat dalam kecintaanya yang paling tinggi.
2.      Beliau melarang kita dari melakukan perbuatan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dan Larangan menjadikan kubur beliau sebagai ‘ied (tempat yang didatangi berulang-ulang).
Syaikhul islam rahimahullahu berkata, “kata Al – ‘Id merupakan kata benda (sebutan) terhadap pertemuan umum yang kembali terulang yang berlaku menurut kebiasaan, baik kembali dengan kembalinya tahun, minggu, bulan, dan lain sebagainya.”
Ibnu Al Qayyin rohimahullahu berkata: “ Al ‘Id adalah sesuatu yang biasa didatangi dan dituju, baik berupa masa ataupun tempat. Jika berupa nama tempat maka ia adalah tempat yang dimaksudkan didalamnya untuk berkumpul, dijadikan tempat ibadah dan sebagainya, sebagimana masjidil Haram, Minna, Musdalifah, Padang Arafah dan al Masya’ir yang dijadikan oleh Allah sebagai ‘Id bagi kaum Hunafa’(orang orang yang lurus), sebagaimana pula dia menjadikan hari – hari ibadah di tempat - tempat tersebut sebagai ‘Id.
Dan dalam hal ini rosulullah melarang untuk melakukan perbuatan menjadikan kuburan sebagi tempat ibadah dan melarang kuburan beliau untuk di jadikan sebagi tempat ‘Id sebagaimana sabdaNya ; Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan, dan jangan jadikan kuburanku sebagai Id, bershalawatlah kepadaku karena shalawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun engkau berada.
  1. Larangan bersafar menuju tempat yang dianggap berkah kecuali tiga masjid.
Anggapan adanya tempat-tempat keramat seperti masjid-masjid, kuburan-kuburan wali atau petilasan-petilasan tertentu telah mendorong sebagian orang dengan sengaja mempersiapkan bekal untuk melakukan perjalanan jauh (safar) menuju tempat tersebut, baik sendirian ataupun berombongan. Mereka berkeyakinan tempat-tempat itu bisa berperan menjadikan doa dan ibadah menjadi lebih mustajab (terkabul) daripada di tempat-tempat selainnya. Karenanya merekapun mengkhususkan beribadah di sana terlebih lagi bila itu adalah kuburan orang-orang shalih atau wali, mereka bahkan bisa beri’tikaf dan bermalam hingga berhari-hari.
Secara umum melakukan perjalanan jauh atau safar tidaklah dilarang di dalam Islam bahkan Islam mengajarkan adab safar. Akan tetapi sengaja bersafar ke suatu tempat hanya untuk melakukan peribadatan khusus di sana, seperti fenomena di atas adalah perbuatan terlarang yang bertentangan dengan hadits Nabi yang dikenal dengan hadits “Syaddur Rihal”. Nabi bersabda,

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى، وَمَسْجِدِي
“Tidaklah diikat pelana unta (tidak dilakukan perjalanan jauh safar) kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Al-Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi).” (HR. al-Bukhari, no. 1197, dari Abu Sa’id al Khudri).
Ibnu Hajar al-Asqalany asy-Syafi’i berkata, “Yang dimaksud dengan
(وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ)
adalah larangan bersafar menuju selainnya (tiga masjid itu). Ath-Thibi berkata, “Larangan dengan gaya bahasa bentuk penafian (negasi) seperti ini lebih tegas daripada hanya kata larangan semata, seolah-olah dikatakan sangat tidak pantas melakukan ziarah ke selain tempat-tempat ini.”(Fathul Bari, 3/64).
Tiga masjid tersebut lebih utama daripada masjid lainnya, dikarenakan ketiganya itu masjid para nabi.Masjidil Haram kiblat kaum muslimin dan tujuan berhaji, Masjidil Aqsha kiblat kaum terdahulu dan masjid Nabawi masjid yang terbangun di atas ketakwaan [lihat Fathul Bari, 3/64].







BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah serta Asma dan Sifat-Nya.
2. Jenis-jenis syirik yaitu syirik besar adalah memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah dan Syirik kecil yaitu syirik yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (jalan, perantara) kepada syirik besar, misalnya dilakukan dalam bentuk perkataan.
3.. Syirik ada dua bentuk yaitu syirik dalam Rububiyyah yaitu menjadikan sekutu selain Allah yang mengatur alam semesta dan Syirik dalam uluhiyyah yang bermakna menyekutukan Allah di dalam ibadah.
4. penyebab timbulnya kesyirikan diantaranya yaitu berlebih-lebihan dalam memuji Rasul atau memuji orang shaleh, ta’ashshub (fanatisme), dan kebodohan terhadap aqidah yang benar.
5. Tindakan Nabi SAW dalam menangkal syirik sebagai contoh yaitu : Tidak berlebihan dalam memuji dan mengagungkan Nabi SAW, beliau melarang kita dari melakukan perbuatan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dan Larangan menjadikan kubur beliau sebagai ‘ied (tempat yang didatangi berulang-ulang), dan adanya larangan bersafar menuju tempat yang dianggap berkah kecuali tiga masjid.








DAFTAR PUSTAKA
Alu syaikh, Hasan Abdurrahman. 2002. Fathul Majid. Jakarta : Pustaka Azzam
Subhani, Ja’far. 1996. Tauhid Dan Syirik. Bandung : Mizan
Wahhab, Muhammad Bin Abdul. 2000. Tegakkan Tauhid Tumbangkan Syirik. Yogyakarta :  Mitra Pustaka
Tim Penyusun. 2008.  Akidah Akhlak al-Hikmah. Surabaya: Akik Pusaka
 http://artikeliman.blogspot.com/2009/03/bahaya-syirik.html

Al – Qur’an

http://abangdani.wordpress.com/2012/03/07/masihkah-ada-syirik-di-zaman-modern/